MEULABOH Kota Unik ! Benarkah…
Meulaboh Kota Unik
MEULABOH Kota Unik ! Benarkah..? – Melaboh merupakan salah satu kota yang ada di Pulau Sumatra dan terletak 245 kilometer dari Kota Banda Aceh. Ibu kota Aceh Barat ini adalah kota kelahiran dari Teuku Umar, salah satu pahlawan nasional Indonesia.
Penamaan Meulaboh diyakini berkaitan dengan letaknya yang berdekatan dengan laut dan dapat “dilaboh pukat” atau digunakan untuk melambuhkan kapal. Kota ini sudah berdiri sejak 402 tahun silam, terhitung dari saat Sultan Saidil Mukammil atau Sultan Kerajaan Aceh Darussalam naik tahta.
Meulaboh juga menjadi salah satu daerah terparah akibat bencana tsunami yang dipicu oleh Gempa Aceh pada 2004. Pada 2020 lalu, sebuah awan tak biasa muncul di Meulaboh, fenomena awan hitam panjang menyerupai gelombang smong (tsunami) membuat masyarakat sekitar menjadi geger. Selain itu, masih banyak lagi fakta menarik tentang Meulaboh.
1. Masjid Terbesar dan Termegah di Kota Meulaboh
Masjid Agung Baitul Makmur adalah masjid terbesar dan termegah di kawasan pantai sebelah barat Kabupaten Aceh Barat. Masjid yang terletak di Drien Rampak, Kec. Johan Pahlawan ini memiliki arsitektur antara perpaduan Timur Tengah, Asia dan Aceh.[1]
Kombinasi antara keluasan bangunan dan keindahan arsitektur yang membentuk satu struktur kemegahan telah menjadikan Masjid Agung Baitul Makmur masuk ke dalam 100 Masjid Terindah di Indonesia
Masjid Agung Baitul Makmur atau biasa disebut dengan Great Mosque Baitul Makmur adalah masjid terbesar dan termegah di kawasan pantai barat Kota Meulaboh. Masjid ini menggabungkan gaya arsitektur Timur Tengah, Asia, dan Aceh dengan pemilihan warna coklat cerah yang dikombinasikan dengan warna merah bata pada bagian kubah masjid.
Ciri khas dari masjid ini adalah tiga kubah utama yang diapit oleh dua kubah menara air berukuran kecil. Seluruh kubah berbentuk bulat lancip, khas perpaduan gaya arsitektur Timur Tengah dan Asia. Kombinasi antara area yang luas dan keindahan arsitektur menjadikan Masjid Agung Baitul Makmur masuk ke dalam buku 100 Masjid Terindah di Indonesia, karya Teddy Tjokrosaputro dan Aryananda.
Bangunan Masjid Agung Baitul Makmur Meulaboh tampak sangat menonjol dengan gaya arsitektur perpaduan Timur Tengah, Asia, dan Aceh serta pemilihan warna cokelat cerah yang dikombinasikan dengan warna merah bata di kubah masjid.
Ciri khas masjid yang dapat dilihat secara kasatmata adalah tiga kubah utama yang diapit dua kubah menara air berukuran lebih kecil. Bentuk kepala semua kubah sama, yakni bulat berujung lancip, khas paduan arsitektur Timur Tengah dan Asia. Masjid ini akan dilengkapi dua menara baru yang hingga tulisan ini diturunkan masih dalam tahap penyelesaian. Menara tersebut akan membuat masjid terlihat semakin megah dan dapat berfungsi sebagai landmark Kota Meulaboh wilayah setempat.
Pintu gerbang masjid pun merupakan keistimewaan tersendiri. Gerbang yang berdiri sendiri dengan jarak beberapa meter dari masjid ini terlihat sangat anggun. Gerbang ini seakan-akan menegaskan bahwa siapa pun yang memasuki gerbang akan menjumpai pemandangan yang sangat indah.
Di dalam masjid terlihat dua konsep ruang yang berbeda. Pertama, pengunjung disambut oleh ruangan yang memiliki banyak tiang penyangga lantai dua sebagai mezzanine. Di bagian tengah terdapat ruang lapang yang terasa sangat lega dengan ornamen lampu hias tepat di tengahnya.
Inspirasi gaya arsitektur Timur Tengah juga terlihat dari bentuk mihrab. Mihrab yang terlihat sangat indah ini didominasi warna cokelat dan nuansa keemasan khas material perunggu dengan ornamen khas Islam. Kesan mewah dan sejuk langsung terasa saat menatapnya.
2. Masjid Pertama di Aceh Barat
Masjid Nurul Huda merupakan salah satu masjid yang menjadi saksi bisu dahsyatnya Gempa Aceh serta perkembangan Meulaboh dari masa ke masa. Masjid ini didirikan pada abad ke-18 masehi oleh Ulee Balang Meulaboh, Teuku Tjik Ali. Pada awal pembangunannya, masjid ini hanya menggunakan konstruksi kayu. Seiring perkembangan Meulaboh pada tahun 1900 dibuat semi permanen, yang kemudian pada akhirnya diperluas pada tahun 1938 oleh Ulee Balang Teuku Tjik Ali Akbar, mertua dari pahlawan nasional Teuku Umar.
Sebagai masjid tertua di kabupaten Aceh barat ini, Masjid Nurul Huda adalah saksi bisu perkembangan Meulaboh mulai dari jaman Seuneubok sampai sekarang. Masjid ini juga menjadi bukti sejarah tsunami aceh 2004. Masjid ini dapat selamat sendiri saat tsunami menerjang, dimana bagunan-bangunan lain disekitar masjid disapu tsunami silam
Tempat ibadah ini merupakan masjid pertama yang ada di Aceh Barat. Selain itu masjid ini pernah memegang gelar masjid agung kabupaten sampai Masjid Agung Baitul Makmur selesai didirikan. Masjid Nurul Huda hingga kini masih aktif digunakan sebagai tempat pelaksanaan ibadah.
Masjid Agung Nurul Huda begitu melekat di hati masyarakat Sumbawa, Nusa Tenggara Barat (NTB). Berdiri pada tahun 1648 masa awal Kesultanan Sumbawa, masjid itu menyimpan sejarah panjang penyebaran ajaran Islam di tanah Sumbawa. Masjid ini terletak di pusat Kecamatan Sumbawa. Lokasinya berada di sebelah Kesultanan Sumbawa, yaitu Istana Tua Dalam Loka. “Dulu itu, Masjid Agung Nurul Huda milik kesultanan, di sampingnya ada Istana Dalam Loka dan di sebelahnya ada pemakaman yang terhubung satu sama lain dalam satu lingkungan,” kata Sekretaris Lembaga Adat Tana Samawa
Syukri menjelaskan, ada makna filosofis dari tiga kompleks yang saling terhubung itu. Yaitu untuk mengingatkan supaya manusia tidak lupa beribadah dan selalu mengingat akan datangnya kematian.
Menurut Syukri, masjid itu pertama kali berdiri pada tahun 1648 di masa awal Kesultanan Sumbawa. Namun, masjid itu sudah mengalami pemugaran. Masjid yang berdiri saat ini adalah hasil pemugaran. “Masjid di samping Istana Dalam Loka itu sudah berdiri pada tahun 1648, sejak awal masa kesultanan,” ungkapnya.
Pada masa Sultan Sumbawa Dewa Mas Pamayam yang juga disebut Mas Cini (1648-1668), masjid di lingkungan istana sudah ada, tetapi bentuknya masih sederhana. Pada masa itu, ajaran Islam semakin kuat di Sumbawa. Kemudian, pada masa Sultan Harun Al-Rasyid I (1675-1702), di lokasi tersebut ada makam sehingga masjid itu disebut masjid makam. Sultan Sumbawa yang dimakamkan di lokasi masjid yaitu Sultan Muhammad Jalaluddin Syah III (1883-1931) dan permaisurinya serta Sultan Muhammad Kaharuddin III (1931-1958) dan permaisurinya. Lihat Foto Masjid Agung Nurul Huda Sumbawa, Kamis (7/4/2022)(KOMPAS.com/Susi) Namun, meletusnya Gunung Tambora pada tahun 1885 membuat dokumen sejarah tentang keberadaan masjid itu hilang. Saat ini, tersisa mimbar masjid yang bertuliskan 1299 H/1878 M yang tersimpan di Museum Daerah Sumbawa.
Dikatakan Syukri, pada tahun 1931, sempat dilakukan rehab dalam skala kecil. Kemudian, pada masa pemerintahan Yakub Koeswara selaku Bupati Sumbawa yang memimpin pada 1989-1999, masjid itu dirobohkan dan dibangun yang baru dan diberi nama Masjid Agung Nurul Huda. “Waktu itu bupati memotong gaji PNS yang ada di Sumbawa untuk pembangunan masjid Nurul Huda,” kata Syukri yang merupakan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Sumbawa.
Selain sebagai masjid pertama di Aceh Barat, masjid ini memegang gelar masjid agung kabupaten sampai berakhir pada saat Mesjid Agung Baitul Makmur selesai didirikan. Masjid ini masih aktif dipakai sebagai tempat pelaksanaan ibadah dan juga menjadi bangunan yang memiliki sejarah akan masa lalu Meulaboh hingga Saat ini
Masjid ini bisa menjadi tempat tujuan sahabat Bang Johan jika berkunjung ke Meulaboh. Tentunya untuk beribadah dan melihat peninggalan sejarah yang masih dapat kita saksikan sampai saat ini.
3. Kupiah Meukeutop
Kupiah meukeutop adalah ikon Kabupaten Aceh Barat, yang berbentuk topi tradisional dan biasa digunakan sebagai pelengkap pakaian adat yang dikenakan kaum pria. Secara historis kupiah meukeutop identik dengan topi kebesaran yang sering digunakan oleh Teuku Umar. Topi ini terbuat dari kain dasar berwarna merah dan kuning. Kain yang digunakan dirajut jadi satu dan membentuk lingkaran.
Warna merah yang digunakan melambangkan kepahlawanan, warna kuning melambangkan kerajaan atau negara, hijau melambangkan agama, hitam berarti ketegasan dan ketetapan hati, serta putih yang berarti suci atau keikhlasan. Secara keseluruhan topi ini memiliki empat bagian, pertama bermakna hukum, kedua bermakna adat, ketiga bermakna kanun, dan bagian keempat bermakna reusam.
“Bentuk dasar kupiah memang begini, satu jenis. Sama seperti burung garuda sebagai lambang negara, bagaimana mau diubah,” kata Nurdin,penyedia jasa pelaminan dan pakaian adat Aceh di Meulaboh, Aceh Barat. Usianya 55 tahun. Di antara pakaian adat Aceh yang ia sewakan, salah satunya kupiah meukeutop.
Nurdin mengaku, barang-barang yang ia sewakan didatangkan dari Banda Aceh. “Di Meulaboh tidak ada orang yang membuat kupiah meukeutop,” ujarnya sembari menunjuk pajangan-pajangan baju adat di toko tiga pintu miliknya.
Kupiah meukeutop terbuat dari kain berwarna dasar merah dan kuning. Kain dirajut jadi satu, berbentuk lingkaran. Pinggiran bawah kupiah, terdapat motif anyaman dikombinasikan warna hitam, hijau, merah dan kuning. Anyaman serupa terdapat di bagian tengah, yang dibatasi lingkaran kain hijau di atasnya dan kain hitam di bawah.
Warna yang dipakai memiliki makna tersendiri. Merah melambangkan kepahlawanan, kuning berarti kerajaan atau negara, hijau menandakan agama, hitam berarti ketegasan atau ketetapan hati, sementara putih bermakna kesucian atau keikhlasan.
Secara keseluruhan, kupiah meukeutop terbagi empat bagian. Sama seperti pada warna, tiap bagian ini juga memiliki arti tersendiri. Bagian pertama bermakna hukum, bagian kedua, bermakna adat, bagian ketiga bermakna kanun dan bagian keempat bermakna reusam.
Bentuk dan Motif Ku
kupiah meukeutop secara umum sama. Hanya warna kain songket untuk membalut lingkaran kupiah saja yang berbeda. Biasanya disesuaikan dengan warna songket pada pakaian.
“Kalau songket pakaian kuning, biasanya songket di kupiah juga kuning. Kalau hijau di pakaian, hijau di kupiah,” kata Nurdin.
Untuk memperindah, selain songket, kupiah meukeutop dihiasi pernak-pernik khas Aceh. “Kalau sekarang, ada yang menambahkan kalung di bagian depan. Itu hanya untuk memperindah saja,” ujarnya.
Kupiah meukeutop bagi masyarakat Aceh tak hanya bernilai dari segi adat, tapi juga penuh dengan nilai sejarah. Secara historis, kupiah meukeutop lebih diidentikkan dengan topi kebesaran yang sering dipakai Teuku Umar, pahlawan nasional asal Aceh.
Teuku Umar lahir di Meulaboh, tahun 1854. Ia gugur 11 Februari 1899, dalam satu pertempuran dengan pasukan Belanda di Meulaboh. Di lokasi tertembaknya Teuku Umar, di Pantai Batu Putih, Suak Ujong Kalak, dibangun satu tugu sebagai monumen sejarah di Aceh Barat. Tugu itu lebih dikenal dengan sebutan, Kupiah Meukeutop.
Saat tsunami melanda Aceh, 26 Desember 2004, monumen itu juga ikut terbawa air bah. Pada masa rekonstruksi Aceh pascabencana, tugu dibangun kembali dengan posisi agak ke darat. Lokasi tugu sebelumnya telah menjadi laut.
Tidak ada sumber sejarah pasti yang menjelaskan kapan atau siapa pertama kali yang memakai kupiah meukeutop. Jika dilihat dari foto-foto tokoh pahlawan asal Aceh, bukan Teuku Umar satu-satunya yang memakai kupiah. Panglima Polem (1845-1879), juga memakai hal serupa. Bahkan kupiah yang dipakai Sultan Muhammad Daud Syah dan Panglima Polem, lebih menyerupai kupiah meukeutop yang ada saat ini. Baik dari bentuk maupun motifnya.
Bahkan menurutnya, Aceh memiliki pakaian resmi yang berlainan dengan yang selalu dipakai para pejabat dan tokoh-tokoh adat dalam acara resmi di Aceh selama ini. Kalau bahan pakaian adat yang digunakan sekarang; yang dipakai di kepala adalah kupiah meukeutop, sedangkan dalam “versi lain” adalah kupiah Aceh dan tangkulok Aceh berkasab. Hiasan yang diselipkan di pinggang juga bukan semata-mata rencong, tetapi boleh pula keris, siwah, badik dan rachuh.
Ia yakin, pakaian Aceh versi ini dapat digunakan kembali saat ini untuk memperkaya variasi pakaian adat Aceh yang ada sekarang. Pada masa Kerajaan Aceh Darussalam, pakaian ini dipakai saat seseorang hendak menghadap Sultan Aceh di Istana Darud Dunia. Baik orang Aceh maupun orang asing wajib memakai Pakaian Aceh ini jika hendak menghadap Sultan.
“Jika tak ada milik sendiri, seseorang boleh meminjam pada Balai Baitur Rijal atau Balai Darul Atsar yang berada di depan pintu gerbang istana,” terangnya.
souvenir yang menarik. Kopiah Meukutop ini hampir dapat ditemukan di tiap kabupaten dan kota di Aceh, kecuali untuk daerah-daerah tertentu yang pakaian adatnya berbeda.
4. Kopi Khop
Kupi Khop dari Aceh Barat memiliki keunikan dalam hal penyajian, kopi Khas Meulaboh ini disajikan dengan gelas terbalik. Istilah Kupi Khop muncul dari kata-kata terakhir Teuku Umar sebelum meninggal. Pahlawan berdarah Aceh tersebut memberi isyarat minum kopi bersama sebelum dia berangkat perang.
Filosofi penyajian Khupi Khop dengan gelas terbalik berasal dari kebiasaan masyarakat Aceh yang berlama-lama saat meminum kopi. Apabila disajikan dengan gelas terbalik, maka kopi akan aman dari paparan debu serta menjaga kadar asam pada kopi. Kopi dengan gelas terbuka kadar asamnya akan cepat meningkat dan hal ini tidak baik untuk kesehatan.
Kupi Khop berasal dari Pesisir Pantai Barat Aceh, tepatnya Kota Meulaboh. Dalam sejarahnya, Kopi Khop yang sengaja disajikan dalam keadaan terbalik ini dikarenakan para nelayan di daerah pesisir pantai barat Aceh yang membawa kopinya harus menjedanya untuk mencari ikan terlebih dahulu. Sehingga kopi sengaja dibuat terbalik agar tetap hangat meski sudah lama tidak diminum. “Agar kopi tetap hangat dan tidak tercemar debu dan kotoran, makanya gelasnya dibalik, jadi saat si pemesan kopi tadi kembali setelah memancing ikan di laut, mereka masih bisa menikmati kopinya lagi”.
Selain itu juga gelas terbalik untuk menjaga kopi tetap aman dari polusi dan menjaga kadar asam yang ada. Kopi yang disajikan dengan terbuka, kadar asamnya akan tinggi seiring lamanya disimpan, sehingga tidak baik bagi kesehatan peminumnya.
Kita pasti bertanya-tanya, bagaimana cara menikmati kopi ini jika gelas dalam keadaan terbalik. Nah setiap kita memesan Kopi Khop, kita juga akan mendapatkan pipet atau sedotan. Sedotan ini berguna untuk mengeluarkan air di balik gelasnya. Kita cukup menyelipkan sedotan ke mulut gelas dan meniupnya secara perlahan-lahan agar cairan kopi tidak keluar bersama serbuknya. Air kopi yang keluar akan memenuhi piring gelas dan setelah itu baru kamu bisa menikmatinya, baik dengan cara menyeruput kopi langsung dari piring atau menggunakan sedotan.
Warisan Budaya Takbenda
Konon istilah Kopi Khop ini juga muncul dari kata-kata terakhir Teuku Umar sebelum tewas tertembak saat berperang dengan pasukan Belanda. Teuku Umar berkata “Beungoh singoh geutanyoe jep kupi di keudee Meulaboh atawa ulon akan syahid.” Artinya, “Besok pagi kita akan minum kopi di Meulaboh atau aku akan mati syahid.” Namun nahas, sebelum sempat menyerang, beliau tewas tertembus peluru. Tidak ada minum kopi bersama di Meulaboh pagi itu.
Ditahun 2019 Pemerintah Kabupaten Aceh Barat telah mendeklarasikan Kupi Khop sebagai Warisan Budaya Takbenda (WBT) Kabupaten Aceh Barat, artinya Kupi Khop merupakan salah satu aset tak berwujud atau intangible asset bagi masyarakat khususnya di Provinsi Aceh
By:Siti Bunga Azalia
Post Comment