Kekuasaan Politik di Kalangan Bangsa Arab [ Sirah 2 ]

kekuasaan arab

Kekuasaan Politik di Kalangan Bangsa Arab [ Sirah 2 ]

Kekuasaan Politik- Sebelum membahas masalah kekuasaan di kalangan Bangsa Arab sebelum masa Islam, kita perlu merinci miniatur sejarah pemerintahan, imarah (keemiratan), agama, dan kepercayaan yang ada di tengah masyarakat Arab. Hal ini akan mempermudah pemahaman terhadap kondisi yang berkembang ketika Islam muncul.

Penguasa di Jazirah Arab pada masa sebelum munculnya Islam dapat dikelompokkan menjadi dua:

1. Raja-raja dengan mahkota, namun sebenarnya tidak memiliki independensi dan otoritas sendiri.
2. Pemimpin dan tokoh suku atau kabilah, yang memiliki kekuasaan dan hak-hak istimewa mirip dengan kekuasaan raja, dan sebagian besar memiliki independensi. Beberapa bahkan mungkin memiliki subordinasi seperti seorang raja.

Raja-raja dengan mahkota meliputi raja-raja Yaman, raja-raja di wilayah Syam, Ghassan, dan Hirah. Sementara itu, penguasa-penguasa lain di Jazirah Arab tidak menggunakan mahkota.

Raja-Raja di Yaman

Suku tertua yang dikenal di Yaman adalah Saba’, yang dapat dilacak melalui penemuan fosil Aur yang hidup dua milenium SM. Puncak peradaban dan pengaruh kekuasaan mereka dimulai sekitar tahun sebelas SM.

Periode Dinasti di Yaman:

1. 1300 SM hingga 620 SM: Dinasti al-Mu’iniah dengan julukan “Mukrib Saba'” dan ibukota Sharwah.
2. 620 SM hingga 115 SM: Dinasti Saba’ dengan ibukota Ma’rib menggantikan Sharwah.
3. 115 SM hingga 300 M: Dinasti al-Himyariyyah I, dengan kabilah Himyar memisahkan diri dan ibukota pindah ke Raidan (Zhaffar).
4. 300 M hingga masuknya Islam: Dinasti al-Himyariyyah II, ditandai oleh kerusuhan, kudeta, dan penaklukan asing, termasuk pendudukan oleh Romawi dan Habasyah.

Pada tahun 523 M, Dzu Nawwas, seorang Yahudi, memimpin penyerangan terhadap orang Nasrani di Najran, memicu konflik dengan Romawi. Pada tahun 525 M, Aryath memimpin pasukan Habasyah yang menduduki Yaman. Abrahah, penerus Aryath, terkenal karena mencoba menghancurkan Ka’bah dan dikenal dengan pasukan penunggang gajah.

Setelah serangan Gajah, orang Yaman meminta bantuan orang Persia untuk mengusir Habasyah. Pada tahun 575 M, mereka meraih kemerdekaan di bawah kepemimpinan Ma’di Yakrib, tetapi kemudian diambil alih oleh Persia hingga Islam masuk ke Yaman pada tahun 638 M.

Demikianlah, kekuasaan di Yaman mengalami perubahan dan tantangan besar sebelum Islam, dengan konflik internal, penaklukan asing, dan perubahan dinasti yang menandai periode tersebut.

Raja-raja di Hirah

Pada beberapa periode tertentu, Iraq tetap menjadi konfederasi kekaisaran Persia hingga munculnya Cyrus Yang Agung (557-529 SM), yang berhasil mempersatukan kembali Bangsa Persia. Namun, dominasi ini terhenti ketika Alexander dari Macedonia mengalahkan “Dara I” pada tahun 326 SM, menyebabkan pecahnya kekaisaran Persia.

Akibatnya, wilayah tersebut terpecah menjadi berbagai kerajaan baru yang dikenal sebagai raja-raja ath-Thawa’if, yang memerintah di masing-masing wilayah hingga tahun 230 M. Pada masa ini, suku Qahthan bermigrasi dan menetap di pedalaman Iraq, berinteraksi dengan keturunan ‘Adnan yang juga berhijrah dan mendirikan pemukiman di tepi Sungai Eufrat.

Bangsa Persia kembali memunculkan kekuatan pada masa Ardasyir, pendiri dinasti Sasaniyah pada tahun 226 M. Ardasyir berhasil menyatukan Bangsa Persia dan memaksa Bangsa Arab setempat mengakui kekuasaannya. Hal ini menyebabkan orang-orang Qudha’ah berpindah ke Syam, sementara Hirah dan Anbar tunduk pada kekaisaran Persia.

Ardasyir menyadari sulitnya menguasai langsung Bangsa Arab

Dia menjadikan pemimpin lokal sebagai alat pengawas setia. Mereka diminta bantuan oleh Ardasyir untuk melawan raja-raja Romawi yang dianggapnya sebagai ancaman. Juzaimah al-Wadhdhah memerintah Hirah dan wilayah pedalaman Iraq dan Jazirah Arab yang terdiri dari keturunan Rabi’ah dan Mudhar, hingga kematiannya sekitar tahun 268 M.

Setelah Juzaimah, ‘Amru bin ‘Ady bin Nashr al-Lakhmi menjadi penguasa atas Hirah dan Anbar pada tahun 268-288 M. Ia merupakan raja dinasti Lakhmi Pertama, dan kekuasaan dinasti Lakhmi berlanjut hingga Qubbaz bin Fairuz menjadi Kisra Persia pada tahun 448-531 M.

Pada masa pemerintahan Kisra Sabur bin Ardasyir, sebagian besar rakyat mengikuti promosi gaya hidup permisivisme yang dilakukan oleh Mazdak. Kekacauan sosial ini mengakibatkan penurunan kekuasaan Lakhmi. Mazdak akhirnya dibunuh oleh Kisra Anusyirwan (531-578 M), yang membenci faham tersebut. Anusyirwan mengangkat kembali al-Munzir sebagai penguasa Hirah setelah menggulingkannya karena menolak ajaran Mazdak.

Namun, konflik internal dan kebijakan-kebijakan yang menyulitkan penduduk setempat menyebabkan penurunan kekuasaan Persia di wilayah tersebut. Kondisi ini memuncak pada pertempuran di “Zi Qaar,” yang menjadi kemenangan pertama Bangsa Arab terhadap kekuatan asing.

Setelah beberapa pergantian penguasa, kekuasaan di Hirah akhirnya jatuh ke tangan keluarga Lakhmi kembali pada tahun 632 M. Namun, tidak lama kemudian, pasukan Muslimin di bawah pimpinan Khalid bin al-Walid merebut kendali Hirah pada tahun 632 M, menandai akhir kekuasaan Persia di kawasan tersebut.

Kekuasaan Raja-raja di Syam dan Emirat di Hijaz

Raja-raja di Syam

Pada saat banyak suku Arab berpindah-pindah, suku Qudha’ah malah menuju wilayah Syam dan menetap di sana. Bangsa Romawi menjadikan Bani Salih bin Halwan, yang terkenal dengan nama adh-Dhaja’imah, sebagai alat pengawas terhadap Bangsa Arab daratan dan kekuatan pendukung dalam melawan pasukan Persia. Beberapa di antara mereka diangkat sebagai raja, dan Ziyad bin al-Habulah menjadi salah satu raja terkenal.

Mereka diperkirakan memegang kekuasaan dari awal abad ke-2 M hingga berakhir setelah suku Ghassan tiba dan berhasil mengalahkan adh-Dhaja’imah. Setelah kemenangan tersebut, Bangsa Romawi mengangkat suku Ghassan sebagai penguasa Bangsa Arab di Syam, dan pusat pemerintahan mereka berada di kota Hauran. Kekuasaan mereka sebagai alat bantu Bangsa Romawi berlangsung hingga pecahnya Perang Yarmuk pada tahun 13 H. Raja terakhir mereka, Jabalah bin al-Ayham, memeluk Islam pada masa kekhalifahan Umar bin al-Khaththab.

Emirat di Hijaz

Isma’il ‘alaihissalam memimpin Mekkah dan mengurus urusan Ka’bah sepanjang hidupnya. Setelah kematiannya, putra-putranya, Nabit dan Qaidar, bergantian mengambil alih posisinya. Mudhadh bin ‘Amru al-Jurhumi, kakek mereka, kemudian melanjutkan kepemimpinan.

Kepemimpinan beralih ke suku Jurhum dan berlangsung untuk waktu yang lama. Putra-putra Nabi Ismail memegang posisi yang dihormati karena jasanya dalam membangun Baitullah, meskipun mereka tidak memiliki peran dalam pemerintahan.

Suku Jurhum berkuasa di Mekkah selama sekitar dua puluh satu abad. Namun, kekuasaan mereka semakin melemah seiring berjalannya waktu. Pada pertengahan abad ke-2 M, Khuza’ah mengambil alih pemerintahan Mekkah dari suku Jurhum, membantu oleh Bani Bakr. Saat itu, sumur Zamzam disumbat oleh suku Jurhum sebelum mereka mengungsi.

Setelah pengusiran suku Jurhum, Khuza’ah memerintah Mekkah dengan bantuan Bani Bakr. Masa kekuasaan suku Jurhum berakhir, dan Mekkah dikuasai oleh Khuza’ah. Periodenya berlangsung sekitar tiga ratus tahun.

Qushai bin Kilab, dari keturunan Bani Kinanah, muncul sebagai pemimpin di Hijaz setelah kemenangan atas suku Jurhum. Dia menikahi putri Hulail, Hubba, dan memimpin Mekkah setelah kematian Hulail. Pada masa ini, suku Quraisy muncul sebagai penguasa Mekkah dan Ka’bah. tulis ulang tulisan ini

Ada tiga versi riwayat yang berkaitan dengan sebab terjadinya perang tersebut:

1. Qushai, setelah memperoleh keturunan dan kekayaan, merasa lebih berhak atas urusan Ka’bah dan Mekkah daripada Khuza’ah dan Bani Bakr. Menganggap suku Quraisy sebagai pewaris tunggal keluarga Nabi Ismail, Qushai memimpin upaya untuk mengusir Khuza’ah dan Bani Bakr dari kota Mekkah. Ide ini disambut baik oleh beberapa pemuka Quraisy dan Bani Kinanah.

2. Hulail, sebelum meninggal, wasiat kepada Qushai agar mengurus Ka’bah dan Mekkah. Qushai kemudian membeli kewenangan atas Ka’bah dengan menggunakan arak atau sejumlah onta. Khuza’ah tidak puas dengan transaksi tersebut, dan Qushai mengumpulkan orang-orang Quraisy dan Bani Kinanah untuk mengusir mereka dari kota Mekkah.

3. Hulail menyerahkan urusan Ka’bah kepada putrinya, Hubba, dan menunjuk Abu Ghibsyan al-Khuza’i sebagai wakilnya. Setelah Hulail meninggal, Qushai menipu dan membeli kewenangan atas Ka’bah dengan sejumlah arak atau onta. Khuza’ah mencoba menghalangi Qushai, dan pertempuran pecah. Qushai mengumpulkan orang-orang Quraisy dan Bani Kinanah untuk mengusir Khuza’ah dan Bani Bakr dari Mekkah.

Dalam keputusan damai yang diambil oleh Ya’mur bin ‘Auf, Qushai diakui sebagai yang berhak atas Ka’bah dan urusan kota Mekkah. Qushai kemudian memimpin Quraisy dalam mengelola Mekkah dan Ka’bah, membentuk lahan bagi anggota suku Quraisy, dan menetapkan jabatan sebelumnya kepada suku-suku tertentu. Selain itu, Qushai mendirikan Darun Nadwah di utara Masjid Ka’bah sebagai tempat strategis bagi orang-orang Quraisy untuk membahas hal-hal penting.

Kekuasaan – Dalam mengelola pemerintahannya, Qushai memiliki beberapa wewenang dan tanggung jawab sebagai pemimpin suku Quraisy:

1. Darun Nadwah: Qushai memimpin Darun Nadwah, tempat berkumpul untuk membahas masalah-masalah strategis dan mengawinkan anak-anak perempuan mereka.

2. Pemegang Panji: Qushai dan anak-anaknya memiliki hak eksklusif untuk memegang panji perang, yang merupakan simbol keberanian dan identitas suku Quraisy. Panji perang tidak boleh dipegang oleh orang lain selain dari keluarga Qushai.

3. Qiyadah (Izin Perjalanan): Qushai memiliki kekuasaan untuk memberikan izin perjalanan kepada kafilah dagang atau kelompok lain yang ingin meninggalkan Mekkah. Tidak ada kafilah yang dapat keluar tanpa seizinnya atau anak-anaknya.

4. Hijabah (Wewenang atas Ka’bah): Qushai memiliki wewenang penuh atas Ka’bah, termasuk hak untuk membuka pintu Ka’bah dan mengatur semua urusan terkait pelayanan kepada Ka’bah.

5. Siqayah (Penanganan Air untuk Jemaah Haji): Qushai dan anak-anaknya bertanggung jawab atas penyediaan air bagi jemaah haji. Mereka mengisi galon-galon air yang diletakkan dekat buah kurma dan zabib untuk memastikan jemaah haji memiliki akses ke air.

6. Rifadah (Penyediaan Makanan): Qushai mewajibkan kharaj atau pajak kepada kaum Quraisy setiap musim haji. Pajak ini digunakan untuk membeli persediaan makanan bagi jemaah haji, khususnya bagi mereka yang tidak membawa bekal yang cukup.

Wewenang-wewenang ini diwariskan kepada anak-anak Qushai. Setelah kematiannya, terjadi persaingan antara anak-anak ‘Abdu Manaf dan ‘Abdud Dar, saudara sepupu mereka, dalam memperebutkan wewenang. Perseteruan ini berhasil diselesaikan melalui perundingan, dan berbagai wewenang dibagi di antara mereka. Sebagai tambahan, suku Quraisy juga memiliki struktur pemerintahan yang menyerupai bentuk negara demokrasi dengan pembagian tugas dan tanggung jawab di antara suku-suku mereka. Ini mencakup penanganan masalah seperti penyerahan qurban, sumpah, sengketa, dan perkerabatan. Suku-suku tertentu dalam suku Quraisy diberi tanggung jawab untuk menangani pemegang panji, pembekuan harta, syura, penanganan kasus diyat, serta berbagai aspek lainnya.

Kekuasaan – Dalam kondisi politik di seluruh negeri Arab pada masa itu, terdapat beberapa poin yang dapat dijelaskan:

1. Pembagian Wilayah dan Kondisi Kabilah:
– Kabilah-kabilah yang berdekatan dengan Hirah tunduk kepada raja Arab di Hirah, sementara suku-suku di pedalaman Syam tunduk kepada raja Ghassan. Namun, kendati tunduk secara simbolis, kekuatan riil mereka di lapangan tetap tidak terlalu signifikan.
– Kabilah-kabilah di daerah pedalaman Jazirah Arab memiliki kebebasan mutlak dan tidak tunduk kepada penguasa luar.

2. Pemimpin Kabilah:
Para pemuka dalam setiap kabilah diangkat sebagai pemimpin, dan mereka memiliki otoritas yang sangat besar di tengah pengikutnya.
Pemimpin kabilah berperan seperti seorang diktator yang kuat, dan pendapat serta keputusannya dihormati tanpa banyak pertentangan.

3. Persaingan Antara Pemimpin Kabilah:
– Persaingan dalam memperebutkan kepemimpinan seringkali terjadi di antara sesama keturunan, bahkan paman dan sepupu berkompetisi untuk mendapatkan kekuasaan.
– Pemimpin kabilah melakukan berbagai tindakan untuk mendapatkan pujian dan mendapatkan keunggulan atas pesaingnya, seperti berderma, menjamu tamu, menyumbang, dan menonjolkan keberanian.

Point Lain :

4. Hak Istimewa Pemimpin Kabilah:
– Para pemimpin dan pemuka kabilah memiliki hak istimewa, termasuk mendapatkan bagian dari harta rampasan seperti mirba’, shaffi, nasyithah, dan fudhul.
– Pemimpin kabilah dapat mengambil bagian dari hasil rampasan berdasarkan peraturan tertentu, dan hal ini menjadi sumber kekayaan dan pengaruh mereka.

5. Kondisi Politik dan Kekuasaan Pusat:
– Tiga wilayah berdekatan dengan negeri asing cenderung memiliki kondisi politik yang lemah. Ada pembagian antara golongan tuan-tuan, para budak, dan rakyat.
– Pemerintah menganggap rakyat di wilayah ini sebagai sumber hasil yang dipersembahkan untuk kepentingan pribadi para tuan atau penguasa.

6. Pemerintahan di Hijaz:
– Pemerintahan di Hijaz dianggap sebagai pemimpin dan pelaksana keagamaan oleh orang-orang Arab. Ini mencakup aspek kepemimpinan keduniawiaan dan keagamaan.
– Pemerintah Hijaz memiliki peran dalam menyelesaikan persengketaan antar suku serta mengelola urusan Masjidil Haram dan Baitullah.

7. Kelemahan Pemerintahan Hijaz:
– Meskipun memiliki struktur pemerintahan yang menyerupai parlemen, pemerintahan Hijaz lemah sehingga tidak mampu memikul tanggung jawabnya secara maksimal, terutama dalam menanggapi serangan terhadap orang-orang Habasyah.

Pada umumnya, kondisi politik di seluruh negeri Arab pada masa tersebut menunjukkan keragaman, persaingan internal antar suku, dan kelemahan pemerintahan di beberapa wilayah.

Post Comment